Kamis, 11 Desember 2014



 

 

Upacara Ngaben

Adat dan Kebudayaan Hindu

 

 

 

Muhammad Farhan

27214217

 

 

 

 

 

 

 

 
 
 
Daftar Isi

Daftar isi……………………………………………………………………

1.Latar Belakang……………………………………………………….

2.Sejarah Upacara Ngaben………………………………………………

3.Makna Kata Ngaben…………………………………………………………….

4.Dasar Hukum………………………………………………………………

5.Jenis-Jenis Ngaben…………………………………………………..

6.Tujuan Upacara Ngaben………………………………………………………

7.Perbedaan pendapat Upacara Ngaben…………………………………

8.Mengapa Mayat Dibakar……………………………………………………

 

 

 

 

 

 

 

 

1. Latar Belakang

 

Untuk merealisasikan keyakinan umat Hindu kepada Tuhan/Sang Hyang Widhi Wasa sebagaimana ajaran Panca Sradha, Kematian atau seseorang meninggal, berarti hubungan dengan dunia nyatanya telah putus, ia dikatakan kembali ke alam baka / ke akhirat. Sang pencipta kelahiran dan kematian yang berwenang menentukan status batas usia, yang tidak dapat diramal oleh manusia biasa, kapan waktunya yang tepat seseorang berpulang kedunia akhirat.

Didalam perjalanan kematian tersebut diatas tidak ada ketentuan yang pasti terhadap seseorang tidak ada pilih kasih, tidak ada perbedaan kaya ataupun miskin, juga perbedaan pejabat atau bukan pejabat, ayah apa anak, kakek apa cucu, dokter apa pasien, semuanya akan berjalan kelak menuju kearah kematian sesuai dengan kehendak takdir, yang diembel-embeli pula dengan perbuatan serta karmanya.

Jadi mati adalah suatu keharusan dari hidup manusia yang kemudian masing-masing bangsa, masing-masing agama, masing-masing suku mempunyai cara-cara tersendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya sebagai manusia yang memiliki peradaban budaya.

Khususnya di Bali dengan umat yang memeluk Agama Hindu yang menganut kepercayaan adanya roh masih hidup setelah badan kasar tak bergerak dan terbentang kaku, mempunyai upacara yang khas dalam penyelenggaraan jazad seseorang yang berpulang yang disebut Pitra Yajna dimana rangkaian dari upacara ini biasa dikenal dengan Istilah Ngaben / Palebon / Pralina dll, dan disesuaikan dengan tingkat dan kedudukan seseorang yang bernilai “Desa-Kala-Patra-Nista-Madya-Utama”.

 

 

 

2.Sejarah Upacara Ngaben

Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asal-usul etimologi, itu kurang tepat. Sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal, kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben.

Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut-sebut dalam lontar adalah atiwa-atiwa. Kata atiwa inipun belum dapat dicari asal usulnya kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara sejenis ini juga kita jumpai pada suku dayak, di kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak kita dengar dengan sebutan tibal untuk menyebutkan upacara setelah kematian itu.

Upacara ngaben atau meyanin, atau juga atiwa-atiwa, untuk umat Hindu di pegunungan Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata entas mengingatkan kita pada upacara pokok ngaben di Bali. Yakni Tirta pangentas yang berfungsi untuk memutuskan hubungan kecintaan sang atma (roh) dengan badan jasmaninya dan mengantarkan atma ke alam pitara.

Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, ngaben itu disebut Palebon yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Dengan demikian Palebon berarti menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanamkan kedalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.

Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan arealnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar. Sedangkan pemasmian berasal dari kata basmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal sedangkan sema berasal dari kata smasana yang berarti Durga. Dewi Durga yang bersthana di Tunon ini.

Diantara pendapat diatas, ada satu pendapat lagi yang terkait dengan pertanyaan itu. Bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. Kata api mendapat presfiks “ng” menjadi “ngapi” dan mendapat sufiks “an” menjadi “ngapian” yang setelah mengalami proses sandi menjadi “ngapen”. Dan karena terjadi perubahan fonem “p” menjadi “b” menurut hukum perubahan bunyi “b-p-m-w” lalu menjadi “ngaben”. Jadi kata Ngaben itu berarti “menuju api”.

 

Ada juga yang dimaksud api di sini adalah Brahma (Pencipta). Itu berarti atma sang mati melalui upacara ritual Ngaben akan menuju Brahma-loka yaitu linggih Dewa Brahma sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam Mencipta (utpeti).

Sesungguhnya ada dua jenis api yang dipergunakan dalam upacara Ngaben yaitu Api Sekala (kongkret) yaitu api yang dipergunakan untuk membakar jasad atau pengawak sang mati dan Api Niskala (abstrak) yang berasal dari Weda Sang Sulinggih selaku sang pemuput karya yang membakar kekotoran yang melekati sang roh. Proses ini disebut “mralina”

 

Di antara dua jenis api dalam upacara Ngaben itu, ternyata yang lebih tinggi nilainya dan mutlak penting adalah api niskala atau api praline yang muncul dari sang Sulinggih. Sang Sulinggih (sang muput) akan memohon kepada Dewa Siwa agar turun memasuki badannya (Siwiarcana) untuk melakukan “pralina”. Mungkin karena api praline dipandang lebih mutlak/penting, dibeberapa daerah pegunungan di Bali ada pelaksanaan upacara Ngaben yang tanpa harus membakar mayat dengan api, melainkan cukup dengan menguburkannya. Upacara Ngaben jenis ini disebut “bila tanem atau mratiwi”. Jadi ternyata ada juga upacara Ngaben tanpa mengunakan api (sekala). Tetapi api niskala/api praline tetap digunakan dengan Weda Sulinggih dan sarana tirtha praline serta tirtha pangentas.

Lepas dari persoalan api mana yang lebih penting. Khusus tentang kehadiran api sekala adalah berfungsi sebagai sarana yang akan mempercepat proses peleburan sthula sarira (badan kasar) yang berasal dari Panca Mahabutha untuk menyatu kembali ke Panca Mahabhuta Agung yaitu alam semesta ini. Proses percepatan pengembalian unsure-unsur Panca Mahabhuta ini tentunya akan mempercepat pula proses penyucian sang atma untuk bisa sampai di alam Swahloka (Dewa Pitara) sehingga layak dilinggihkan di sanggah/merajan untuk disembah. Tentunya setelah melalui upacara “mamukur” yang merupakan kelanjutan dari “Ngaben”.

 

3.Makna Kata Ngaben

Kata Ngaben mempunyai pengertian bekal atau abu yang semua tujuannya mengarah tentang adanya pelepasan terakhir kehidupan manusia. Dalam ajaran Hindu Dewa Brahma mempunyai beberapa wujud selain sebagai Dewa Pencipta Dewa Brahma dipercaya juga mempunyai wujud sebagai Dewa Api. Jadi upacara Ngaben sendiri adalah proses penyucian roh dengan cara dibakar menggunakan api agar bisa dapat kembali ke sang pencipta, api penjelmaan dari Dewa Brahma bisa membakar semua kekotoran yang melekat pada jasad dan roh orang yang telah meningggal.

 

4.Dasar Hukum

Ngaben merupakan salah satu upacara adat Umat Hindu yang masuk ke dalam ruang lingkup upacara Pitra Yajna. Dimana yang dimaksud dengan Pitra Yajna adalah persembahan suci kepada leluhur. Pitra Yajna berasal dari kata Pitr yang artinya leluhur, yajna yang berasal urat kata yaj yang berarti berkorban. Leluhur dimaksud adalah Ibu Bapak, kakek, buyut, dan lain-lain yang merupakan garis lurus ke atas, yang menurunkan kita. Kita ada karena ibu dan Bapak. Ibu dan Bapak ada karena Kakek dan Nenek, begitu seterusnya. Jadi kita ada atas jasa mereka. Kita telah berhutang kepada mereka. Hutang kepada leluhur disebut Pitra Rna. Hutang ini harus dibayar, membayar utang kepada leluhur dengan melaksanakan pitra yajna. Jadi pitra yajna merupakan suatu pembayaran hutang kepada leluhur. Hal inilah yang menjadi dasar hukum dari pada Pitra Yajna itu. Upacara menghormati leluhur dalam Agama Hindu di kenal dengan istilah Sradha. Hal ini dijelaskan dalam Menawa Dharma Sastra sebagai berikut : “Upacara Pitra Yajna yang harus kamu lakukan Hendaknya setiap harinya melakukan sraddha dengan mempersembahkan nasi atau dengan air dan  susu, dengan umbi-umbian . Dan dengan demikian Ia menyenangkan para leluhur.”

 

 

5.Jenis – jenis Ngaben

A. Mendhem Sawa

Mendhem sawa berarti penguburan mayat. dijelaskan bahwa ngaben di Bali masih diberikan kesempatan untuk ditunda sementara, dengan alasan berbagai hal seperti yang telah diuraikan. Namun diluar itu masih ada alasan yang bersifat filosofis lagi, yang didalam naskah lontar belum diketemukan. Mungkin saja alasan ini dikarang yang dikaitkan dengan landasan atau latar belakang filosofis adanya kehidupan ini. Alasannya adalah agar ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda prthiwi. Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).

 

 

 

 

 

B. Ngaben Mitra Yajna

Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur, yajna berarti korban suci. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa, karena tidak disebutkan namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ucap lontar Yama Purwana Tattwa merupakan Sabda Bhatara Yama. Dalam warah-warah itu tidak disebutkan nama jenis ngaben ini. Untuk membedakan dengan jenis ngaben sedehana lainnya, maka ngaben ini diberi nama Mitra Yajna.

Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran mayat ditetapkan menurut ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa, terutama mengenai upakara dan dilaksanakan di dalam tujuh hari dengan tidak memilih dewasa (hari baik).

C. Pranawa

Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah diuraikan.

D. Pranawa Bhuanakosa.

Pranawa Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brghu. Dimana Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal walaupun pernah ditanam, disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan Bhuanakosa Prana Wa.

 

E.   Swasta

Swasta artinya lenyap atau hilang. Adalah nama jenis ngaben yang sawanya (mayatnya) tidak ada (tan kneng hinulatan), tidak dapat dilihat, meninggal didaerah kejauhan, lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya dapat dilakukan dengan ngaben jenis swasta. Walaupun orang hina, biasa, dan uttama sebagai badan (sarira) orang yang mati disimbolkan dengan Dyun (tempayan) sebagai kulit, benang 12 iler sebagai otot, air sebagai daging, balung cendana 18 potong. Pranawa sebagai suara, ambengan (jerami) sebagai pikiran, Recafana sebagai urat, ongkara sebagai lingga hidup. Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan, dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem yang tidak dapat diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan di Jaba Pura Dalem.

F. Ngaben Sarat

Ngaben Sarat adalah Ngaben yang diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat dengan perlengkapan upacara upakaranya. Upacara ngaben sarat ini memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ngaben sarat dilakukan baik terhadap sawa yang baru meninggal maupun terhadap sawa yang telah dipendem. Ngaben sarat terhadap sawa yang baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan ngaben sarat terhadap sawa yang pernah dipendem disebut Sawa Wedhana. Baik sawa prateka maupun sawa wedhana memerlukan perlengkapan upacara bebanten dan sarana penunjang lainnya yang sangat besar atau banyak. Semua itu dipersiapkan dalam kurun waktu yang panjang serta memerlukan tenaga penggarap yang besar. Karena itulah terhadap kedua jenis ngaben ini disebut Ngaben Sarat.

 

 

 

 

6.Tujuan Upacara Ngaben

1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian      menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)

2. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta yaitu :                                                                                                         
a. Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll  
b. Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dll     
c. Bayu : unsur udara yang membentuk nafas.            
d. Teja : unsur panas yang membentuk suhu tubuh.                                           
 e. Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.

3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.

7.Perbedaan Pendapat Upacara Ngaben

Ada beberapa pendapat tentang asal kata ngaben. Ada yang mengatakan ngaben dari kata beya yang artinya bekal, ada juga yang mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu).

Dalam Hindu, diyakini bahwa Dewa Brahma, disamping sebagai dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi, Ngaben adalah proses penyucian roh dengan menggunakan sarana api, sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yang digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta untuk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yang melekat pada atma/roh.

8.Mengapa Mayat dibakar ?

Mengapa mayat dibakar? Selintas telah disinggung, upacara Pitra yadnya umumnya digelar oleh keluarga yang masih hidup untuk anggota keluarganya yang meninggal dunia. Melakukan Pitra yadnya adalah swadharma alias kewajiban. Mengapa mereka harus melakukan swadharmanya itu? Tidak lain lantaran Pitra yadnya itu sendiri merupakan suatu upacara keagamaan. Maka tidak pelak lagi, mengenai tradisi upacara ini dilakukan oleh keluarga terhadap anggotanya adalah pula berdasar ajaran agama. Bahkan upacara ini bersumber dari tattwa (filsafat) agama sendiri. Tegasnya, upacara ini bukanlah sekadar tradisi yang hambar begitu saja. Tradisi ini adalah suatu tugas suci, swadharma atau kewajiban mutlak, karena sudah merupakan utang. Bukankah pada mulanya ketika kita berada di cucupu (rahim) ibu, tubuh kita hanya sekedar dua sel yang teramat kecilnya. Kita berutang kepada ayah karena kama petaknya (sperma) dan kepada ibu karena kama bangnya (ovum).

Kenyataan itu tidak bisa dipungkiri lagi. Lalu apa kata ajaran agama tentang semua ini? Pada hakikatnya stula sarira (jasad) setiap mahluk termasuk manusia adalah terdiri dari benda-benda yang sama saja asalnya dengan benda-benda isi alam semesta yang ada di sekitar kita. Semuanya berasal dari unsur yang sama yakni Pancamahabhuta yang terdiri dari pratiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas/cahaya), bayu (udara), dan akasa (ether/angkasa). Dari Pancamahabhuta kita memperoleh pinjaman zat-zat yang membuat kita hidup, hingga dari “merekalah” kita berutang. Kita berutang selama Pancamahabhuta itu terakit wungkul berbentuk stula sarira (badan kasar) baik sewaktu masih hidup maupun setelah meninggal. Jelasnya, semasih Pancamahabhuta berwujud tubuh manusia termasuk setelah meninggal selaku sawa (jenasah), manusia “pemakai” lima unsur zat itu dinilai selaku pihak berutang. Sebagai utang, maka tentu saja menjadi beban moral yang pada saatnya nanti harus dibayar lunas hingga terhapuslah beban itu.


 

 

Daftar Pustaka

Kaler, I Gusti Ketut, (1993), Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, Yayasan Dharma Naradha, Denpasar.

Ida Bagus Putu Purwita (1992),Upacara Ngaben, Upada Sastra ,Denpasar Bali

I Nyoman Singgin Wikarman (1997),Ngaben Sarat,Yayasan Wikarman,Bali

Wiana, I Ketut. 2004. Makna Upacara Yadnya dalam Agama Hindu II. Surabaya Paramita

I Nyoman Sirtha.2008. hukum dalam konflik adat di Bali.Denpasar

 

Tgl:27-11-2014
http://wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/upacara-ngaben


Tgl:03-11-2014


Tgl:08-12-2014


 

 

2 komentar:

  1. Ulasan yg bagus tentang upacara pengabenan,sehingga umat dan generasi hindhu semakin tercerahkan.trimakasi

    BalasHapus
  2. youtube - VIVO LITTERY : VIVO LITTERY - VideoODL.CC
    youtube.com. video_h.vid.1z4_v6_1. youtube link to mp3 youtube.com. video_h.vid.1z4_v6_1. youtube.com. youtube.com. video_h.vid.1z4_v6_1. youtube.com.

    BalasHapus