Upacara Ngaben
Adat dan Kebudayaan Hindu
Muhammad
Farhan
27214217
Daftar isi……………………………………………………………………
1.Latar Belakang……………………………………………………….
2.Sejarah Upacara Ngaben………………………………………………
3.Makna Kata Ngaben…………………………………………………………….
4.Dasar Hukum………………………………………………………………
5.Jenis-Jenis Ngaben…………………………………………………..
6.Tujuan Upacara Ngaben………………………………………………………
7.Perbedaan pendapat Upacara Ngaben…………………………………
8.Mengapa Mayat Dibakar……………………………………………………
1. Latar Belakang
Untuk
merealisasikan keyakinan umat Hindu kepada Tuhan/Sang Hyang Widhi Wasa sebagaimana
ajaran Panca Sradha, Kematian atau seseorang meninggal, berarti hubungan
dengan dunia nyatanya telah putus, ia dikatakan kembali ke alam baka / ke
akhirat. Sang pencipta kelahiran dan kematian yang
berwenang menentukan status batas usia, yang tidak dapat diramal oleh manusia
biasa, kapan waktunya yang tepat seseorang berpulang kedunia akhirat.
Didalam perjalanan kematian tersebut diatas
tidak ada ketentuan yang pasti terhadap seseorang tidak ada pilih kasih, tidak
ada perbedaan kaya ataupun miskin, juga perbedaan pejabat atau bukan pejabat,
ayah apa anak, kakek apa cucu, dokter apa pasien, semuanya akan berjalan kelak
menuju kearah kematian sesuai dengan kehendak takdir, yang diembel-embeli pula
dengan perbuatan serta karmanya.
Jadi mati adalah suatu keharusan dari hidup
manusia yang kemudian masing-masing bangsa, masing-masing agama, masing-masing
suku mempunyai cara-cara tersendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya
sebagai manusia yang memiliki peradaban budaya.
Khususnya di Bali dengan umat yang memeluk
Agama Hindu yang menganut kepercayaan adanya roh masih hidup setelah badan
kasar tak bergerak dan terbentang kaku, mempunyai upacara yang khas dalam
penyelenggaraan jazad seseorang yang berpulang yang disebut Pitra Yajna dimana
rangkaian dari upacara ini biasa dikenal dengan Istilah Ngaben / Palebon /
Pralina dll, dan disesuaikan dengan tingkat dan kedudukan seseorang yang
bernilai “Desa-Kala-Patra-Nista-Madya-Utama”.
2.Sejarah Upacara
Ngaben
Ngaben secara umum didefinisikan sebagai
upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asal-usul etimologi, itu kurang tepat.
Sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben
sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal, kata beya ini dalam
kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi bahasa baku untuk
menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata
ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben.
Ngaben atau meyanin dalam istilah baku
lainnya yang disebut-sebut dalam lontar adalah atiwa-atiwa. Kata
atiwa inipun belum dapat dicari asal usulnya kemungkinan berasal dari bahasa
asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara sejenis ini juga kita jumpai
pada suku dayak, di kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak kita dengar dengan
sebutan tibal
untuk menyebutkan upacara setelah kematian itu.
Upacara ngaben atau meyanin, atau
juga atiwa-atiwa,
untuk umat Hindu di pegunungan Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata
entas
mengingatkan kita pada upacara pokok ngaben di Bali. Yakni Tirta pangentas yang
berfungsi untuk memutuskan hubungan kecintaan sang atma (roh) dengan badan
jasmaninya dan mengantarkan atma ke alam pitara.
Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi
halus, ngaben itu disebut Palebon yang berasal dari kata lebu yang
artinya prathiwi
atau tanah. Dengan demikian Palebon berarti menjadikan
prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara
membakar dan menanamkan kedalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling
cepat.
Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan
arealnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang
berarti membakar. Sedangkan pemasmian berasal dari kata basmi yang
berarti hancur. Tunon
lain katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal sedangkan sema berasal dari
kata smasana yang berarti Durga. Dewi Durga yang bersthana di Tunon ini.
Diantara pendapat diatas, ada satu pendapat
lagi yang terkait dengan pertanyaan itu. Bahwa kata Ngaben itu berasal dari
kata “api”. Kata api mendapat presfiks “ng” menjadi “ngapi” dan mendapat sufiks
“an” menjadi “ngapian” yang setelah mengalami proses sandi menjadi “ngapen”.
Dan karena terjadi perubahan fonem “p” menjadi “b” menurut hukum perubahan
bunyi “b-p-m-w” lalu menjadi “ngaben”. Jadi kata Ngaben itu berarti “menuju api”.
Ada juga yang dimaksud api di sini adalah Brahma (Pencipta). Itu
berarti atma sang mati melalui upacara ritual Ngaben akan menuju Brahma-loka
yaitu linggih Dewa Brahma sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam Mencipta
(utpeti).
Sesungguhnya ada dua jenis api yang
dipergunakan dalam upacara Ngaben yaitu Api Sekala (kongkret) yaitu api yang
dipergunakan untuk membakar jasad atau pengawak sang mati dan Api Niskala
(abstrak) yang berasal dari Weda Sang Sulinggih selaku sang pemuput karya yang
membakar kekotoran yang melekati sang roh. Proses ini disebut “mralina”
Di antara dua jenis api dalam upacara Ngaben
itu, ternyata yang lebih tinggi nilainya dan mutlak penting adalah api niskala
atau api praline yang muncul dari sang Sulinggih. Sang Sulinggih (sang muput)
akan memohon kepada Dewa Siwa agar turun memasuki badannya (Siwiarcana) untuk
melakukan “pralina”. Mungkin karena api praline dipandang lebih mutlak/penting,
dibeberapa daerah pegunungan di Bali ada pelaksanaan upacara Ngaben yang tanpa
harus membakar mayat dengan api, melainkan cukup dengan menguburkannya. Upacara
Ngaben jenis ini disebut “bila tanem atau mratiwi”. Jadi ternyata ada juga
upacara Ngaben tanpa mengunakan api (sekala). Tetapi api niskala/api praline
tetap digunakan dengan Weda Sulinggih dan sarana tirtha praline serta tirtha
pangentas.
Lepas dari persoalan api mana yang lebih
penting. Khusus tentang kehadiran api sekala adalah berfungsi sebagai sarana
yang akan mempercepat proses peleburan sthula sarira (badan kasar) yang berasal
dari Panca Mahabutha untuk menyatu kembali ke Panca Mahabhuta Agung yaitu alam
semesta ini. Proses percepatan pengembalian unsure-unsur Panca Mahabhuta ini
tentunya akan mempercepat pula proses penyucian sang atma untuk bisa sampai di
alam Swahloka (Dewa Pitara) sehingga layak dilinggihkan di sanggah/merajan
untuk disembah. Tentunya setelah melalui upacara “mamukur” yang merupakan
kelanjutan dari “Ngaben”.
3.Makna Kata Ngaben
Kata Ngaben mempunyai
pengertian bekal atau abu yang semua tujuannya mengarah tentang adanya
pelepasan terakhir kehidupan manusia. Dalam ajaran Hindu Dewa Brahma mempunyai
beberapa wujud selain sebagai Dewa Pencipta Dewa Brahma dipercaya juga
mempunyai wujud sebagai Dewa Api. Jadi upacara Ngaben sendiri adalah proses
penyucian roh dengan cara dibakar menggunakan api agar bisa dapat kembali ke
sang pencipta, api penjelmaan dari Dewa Brahma bisa membakar semua kekotoran
yang melekat pada jasad dan roh orang yang telah meningggal.
4.Dasar
Hukum
Ngaben merupakan salah satu upacara adat Umat Hindu yang masuk ke dalam
ruang lingkup upacara Pitra Yajna. Dimana yang dimaksud dengan Pitra Yajna
adalah persembahan suci kepada leluhur. Pitra Yajna berasal dari kata Pitr yang
artinya leluhur, yajna yang berasal urat kata yaj yang berarti berkorban.
Leluhur dimaksud adalah Ibu Bapak, kakek, buyut, dan lain-lain yang merupakan
garis lurus ke atas, yang menurunkan kita. Kita ada karena ibu dan Bapak. Ibu
dan Bapak ada karena Kakek dan Nenek, begitu seterusnya. Jadi kita ada atas
jasa mereka. Kita telah berhutang kepada mereka. Hutang kepada leluhur disebut Pitra Rna. Hutang
ini harus dibayar, membayar utang kepada leluhur dengan melaksanakan pitra
yajna. Jadi pitra yajna merupakan suatu pembayaran hutang kepada leluhur. Hal
inilah yang menjadi dasar hukum dari pada Pitra Yajna itu. Upacara
menghormati leluhur dalam Agama Hindu di kenal dengan istilah Sradha. Hal ini
dijelaskan dalam Menawa Dharma Sastra sebagai berikut : “Upacara Pitra Yajna
yang harus kamu lakukan Hendaknya setiap harinya melakukan sraddha dengan
mempersembahkan nasi atau dengan air dan susu, dengan umbi-umbian . Dan
dengan demikian Ia menyenangkan para leluhur.”
5.Jenis – jenis Ngaben
A. Mendhem Sawa
Mendhem sawa berarti penguburan mayat. dijelaskan
bahwa ngaben di Bali masih diberikan kesempatan untuk ditunda sementara, dengan
alasan berbagai hal seperti yang telah diuraikan. Namun diluar itu masih ada
alasan yang bersifat filosofis lagi, yang didalam naskah lontar belum
diketemukan. Mungkin saja alasan ini dikarang yang dikaitkan dengan landasan
atau latar belakang filosofis adanya kehidupan ini. Alasannya adalah agar ragha
sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi
dulu. Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda prthiwi.
Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di
aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa
(jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi
penghuluning Setra (Dewi Durga).
B. Ngaben Mitra Yajna
Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra
artinya leluhur, yajna berarti korban suci. Istilah ini dipakai untuk
menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa, karena tidak disebutkan
namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ucap lontar Yama Purwana Tattwa
merupakan Sabda Bhatara Yama. Dalam warah-warah itu tidak disebutkan nama jenis
ngaben ini. Untuk membedakan dengan jenis ngaben sedehana lainnya, maka ngaben
ini diberi nama Mitra Yajna.
Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran mayat
ditetapkan menurut ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa, terutama mengenai
upakara dan dilaksanakan di dalam tujuh hari dengan tidak memilih dewasa (hari
baik).
C. Pranawa
Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama
jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada
mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau
Ngulapin. Pejati
dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika
hari pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya
dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti amranawa sawa yang
baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan ketentuan ngaben amranawa
sawa baru meninggal, seperti yang telah diuraikan.
D. Pranawa Bhuanakosa.
Pranawa Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa
Brahma kepada Rsi Brghu. Dimana Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru
meninggal walaupun pernah ditanam, disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan
dengan Bhuanakosa Prana Wa.
E. Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang. Adalah
nama jenis ngaben yang sawanya (mayatnya) tidak ada (tan kneng hinulatan),
tidak dapat dilihat, meninggal didaerah kejauhan, lama di setra, dan
lain-lainnya, semuanya dapat dilakukan dengan ngaben jenis swasta. Walaupun
orang hina, biasa, dan uttama sebagai badan (sarira) orang yang mati
disimbolkan dengan Dyun (tempayan) sebagai kulit, benang 12 iler sebagai otot,
air sebagai daging, balung cendana 18 potong. Pranawa sebagai suara, ambengan
(jerami) sebagai pikiran, Recafana sebagai urat, ongkara sebagai lingga hidup.
Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di
kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan, dapat
dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem yang tidak dapat
diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan di Jaba Pura Dalem.
F. Ngaben Sarat
Ngaben Sarat adalah Ngaben yang
diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat dengan perlengkapan upacara
upakaranya. Upacara ngaben sarat ini memerlukan dukungan dana dan waktu yang
cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ngaben sarat dilakukan baik
terhadap sawa yang baru meninggal maupun terhadap sawa yang telah dipendem.
Ngaben sarat terhadap sawa yang baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan
ngaben sarat terhadap sawa yang pernah dipendem disebut Sawa Wedhana. Baik sawa
prateka maupun sawa wedhana memerlukan perlengkapan upacara bebanten dan sarana
penunjang lainnya yang sangat besar atau banyak. Semua itu dipersiapkan dalam
kurun waktu yang panjang serta memerlukan tenaga penggarap yang besar. Karena
itulah terhadap kedua jenis ngaben ini disebut Ngaben Sarat.
6.Tujuan Upacara Ngaben
1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya
kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna
untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat
dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)
2. Membakar jenazah juga merupakan suatu
rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur
pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak
menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta yaitu :
a. Pertiwi :
unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll
b. Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air
mata, dll
c. Bayu : unsur udara yang membentuk
nafas.
d. Teja : unsur panas yang membentuk suhu tubuh.
e. Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam
tubuh.
3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan
simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang
bersangkutan.
7.Perbedaan Pendapat Upacara Ngaben
Ada beberapa pendapat tentang asal kata ngaben. Ada yang
mengatakan ngaben dari kata beya yang artinya bekal, ada juga yang mengatakan
dari kata ngabu (menjadi abu).
Dalam Hindu, diyakini bahwa Dewa Brahma, disamping sebagai
dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi, Ngaben adalah proses penyucian roh
dengan menggunakan sarana api, sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu
Brahma. Api yang digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api
abstrak berupa mantra pendeta untuk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yang
melekat pada atma/roh.
8.Mengapa
Mayat dibakar ?
Mengapa
mayat dibakar? Selintas telah disinggung, upacara Pitra yadnya umumnya digelar
oleh keluarga yang masih hidup untuk anggota keluarganya yang meninggal dunia.
Melakukan Pitra yadnya adalah swadharma alias kewajiban. Mengapa mereka harus
melakukan swadharmanya itu? Tidak lain lantaran Pitra yadnya itu sendiri
merupakan suatu upacara keagamaan. Maka tidak pelak lagi, mengenai tradisi
upacara ini dilakukan oleh keluarga terhadap anggotanya adalah pula berdasar
ajaran agama. Bahkan upacara ini bersumber dari tattwa (filsafat) agama
sendiri. Tegasnya, upacara ini bukanlah sekadar tradisi yang hambar begitu
saja. Tradisi ini adalah suatu tugas suci, swadharma atau kewajiban mutlak,
karena sudah merupakan utang. Bukankah pada mulanya ketika kita berada di
cucupu (rahim) ibu, tubuh kita hanya sekedar dua sel yang teramat kecilnya.
Kita berutang kepada ayah karena kama petaknya (sperma) dan kepada ibu karena
kama bangnya (ovum).
Kenyataan itu tidak bisa dipungkiri lagi. Lalu apa
kata ajaran agama tentang semua ini? Pada hakikatnya stula sarira (jasad)
setiap mahluk termasuk manusia adalah terdiri dari benda-benda yang sama saja
asalnya dengan benda-benda isi alam semesta yang ada di sekitar kita. Semuanya
berasal dari unsur yang sama yakni Pancamahabhuta yang terdiri dari pratiwi
(zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas/cahaya), bayu (udara), dan akasa
(ether/angkasa). Dari Pancamahabhuta kita memperoleh pinjaman zat-zat yang
membuat kita hidup, hingga dari “merekalah” kita berutang. Kita berutang selama
Pancamahabhuta itu terakit wungkul berbentuk stula sarira (badan kasar) baik
sewaktu masih hidup maupun setelah meninggal. Jelasnya, semasih Pancamahabhuta
berwujud tubuh manusia termasuk setelah meninggal selaku sawa (jenasah),
manusia “pemakai” lima unsur zat itu dinilai selaku pihak berutang. Sebagai
utang, maka tentu saja menjadi beban moral yang pada saatnya nanti harus
dibayar lunas hingga terhapuslah beban itu.
Daftar Pustaka
Kaler, I
Gusti Ketut, (1993), Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, Yayasan Dharma
Naradha, Denpasar.
Ida Bagus
Putu Purwita (1992),Upacara Ngaben, Upada Sastra ,Denpasar Bali
I
Nyoman Singgin Wikarman (1997),Ngaben Sarat,Yayasan Wikarman,Bali
Wiana, I Ketut. 2004. Makna Upacara
Yadnya dalam Agama Hindu II. Surabaya Paramita
I
Nyoman Sirtha.2008. hukum dalam konflik
adat di Bali.Denpasar
Tgl:27-11-2014
http://wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/upacara-ngaben
Tgl:03-11-2014
Tgl:08-12-2014